Sejarah /
Kisah Perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
Perjalanan dimulai Rasulullah mengendarai buraq
bersama Jibril. Jibril berkata, “turunlah dan kerjakan shalat”.
Rasulullahpun turun. Jibril berkata, “dimanakah
engkau sekarang ?”
“tidak tahu”, kata Rasul.
“Engkau berada di Madinah, disanalah engkau akan
berhijrah “, kata Jibril.
Perjalanan dilanjutkan ke Syajar Musa (Masyan)
tempat penghentian Nabi Musa ketika lari dari Mesir, kemudian kembali ke
Tunisia tempat Nabi Musa menerima wahyu, lalu ke Baitullhmi (Betlehem) tempat
kelahiran Nabi Isa AS, dan diteruskan ke Masjidil Aqsha di Yerussalem sebagai
kiblat nabi-nabi terdahulu.
Jibril menurunkan Rasulullah dan menambatkan
kendaraannya. Setelah rasul memasuki masjid ternyata telah menunggu Para nabi
dan rasul. Rasul bertanya : “Siapakah mereka ?”
“Saudaramu para Nabi dan Rasul”.
Kemudian Jibril membimbing Rasul kesebuah batu
besar, tiba-tiba Rasul melihat tangga yang sangat indah, pangkalnya di Maqdis
dan ujungnya menyentuh langit. Kemudian Rasulullah bersama Jibril naik tangga
itu menuju kelangit tujuh dan ke Sidratul Muntaha.
“Dan sesungguhnya nabi Muhammad telah
melihatJibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di
Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratull Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang dilihatnya itu dan tidakpula
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm : 13 – 18).
Selanjutnya Rasulullah melanjutkan perjalanan
menghadap Allah tanpa ditemani Jibril Rasulullah membaca yang artinya : “Segala
penghormatan adalah milikAllah, segala Rahmat dan kebaikan“.
Allah berfirman yang artinya: “Keselamatan bagimu
wahai seorang nabi, Rahmat dan berkahnya“.
Rasul membaca lagi yang artinya: “Keselamatan
semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh. Rasulullah dan ummatnya
menerima perintah ibadah shalat“.
Berfirman Allah SWT : “Hai Muhammad Aku
mengambilmu sebagai kekasih sebagaimana Aku telah mengambil Ibrahim sebagai
kesayanagan dan Akupun memberi firman kepadamu seperti firman kepada Musa
Akupun menjadikan ummatmu sebagai umat yang terbaik yang pernah dikeluarkan
pada manusia, dan Akupun menjadikan mereka sebagai umat wasath (adil dan
pilihan), Maka ambillah apa yang aku berikan kepadamu dan jadilah engkau
termasuk orang-orang yang bersyukur“.
“Kembalilah kepada umatmu dan sampaikanlah kepada
mereka dari Ku”.
Kemudian Rasul turun ke Sidratul Muntaha.
Jibril berkata : “Allah telah memberikan
kehormatan kepadamu dengan penghormatan yang tidak pernah diberikan kepada
seorangpun dari makhluk Nya baik malaikat yang terdekat maupun nabi yang
diutus. Dan Dia telah membuatmu sampai suatu kedudukan yang tak seorangpun dari
penghuni langit maupun penghuni bumi dapat mencapainya. Berbahagialah engkau
dengan penghormatan yang diberikan Allah kepadamu berupa kedudukan tinggi dan
kemuliaan yang tiada bandingnya. Ambillah kedudukan tersebut dengan bersyukur
kepadanya karena Allah Tuhan pemberi nikmat yang menyukai orang-orang yang
bersyukur”.
Lalu Rasul memuji Allah atas semua itu.
Kemudian Jibril berkata : “Berangkatlah ke surga
agar aku perlihatkan kepadamu apa yang menjadi milikmu disana sehingga engkau
lebih zuhud disamping zuhudmu yang telah ada, dan sampai lah disurga dengan
Allah SWT. Tidak ada sebuah tempat pun aku biarkan terlewatkan”. Rasul melihat
gedung-gedung dari intan mutiara dan sejenisnya, Rasul juga melihat pohon-pohon
dari emas. Rasul melihat disurga apa yang mata belum pernah melihat, telingan
belum pernah mendengar dan tidak terlintas dihati manusia semuanya masih kosong
dan disediakan hanya pemiliknya dari kekasih Allah ini yang dapat melihatnya.
Semua itu membuat Rasul kagum untuk seperti inilah
mestinya manusia beramal. Kemudian Rasul
diperlihatkan neraka sehingga rasul dapat melihat belenggu-belenggu dan
rantai-rantainya selanjutnya Rasulullah turun ke bumi dan kembali ke masjidil
haram menjelang subuh.
Mandapat Mandat Shalat 5 waktu
Agaknya yang lebih wajar untuk dipertanyakan,
bukannya bagaimana Isra’ Mi’raj, tetapi mengapa Isra’ Mi’raj terjadi ? Jawaban
pertanyaan ini sebagaimana kita lihat pada ayat 78 surat al-lsra’, Mi’raj itu
untuk menerima mandat melaksanakan shalat Lima waktu. Jadi, shalat inilah yang
menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj tersebut.
Shalat merupakan media untuk mencapai kesalehan
spiritual individual hubungannya dengan Allah. Shalat juga menjadi sarana untuk
menjadi keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, dan penuh
kedamaian. Makanya tidak berlebihan apabila Alexis Carrel menyatakan : “Apabila
pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang Maha pencipta disingkirkan
dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti kita telah menandatangani
kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut“. Perlu diketahui bahwa A. Carrel
bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama, tetapi dia adalah
seorang dokter dan pakar Humaniora yang telah dua kali menerima nobel atas
hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja dan pencangkokannya. Tanpa
pendapat Carrel pun, Al – Qur’an 15 abad yang lalu telah menyatakan bahwa
shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa mencegah perbuatan keji dan
mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang harmonis, egaliter, dan
beretika.
Pengertian / Definisi Isra
dan Mi’raj
Isra Mi’raj adalah dua bagian dari perjalanan yang dilakukan
oleh Muhammad dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu
peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat perintah untuk menunaikan salat lima
waktu sehari semalam. Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah
sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut
al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum
hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra
Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang
populer. Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat
tersebut dengan alasan karena Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada bulan
Ramadan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu
belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat
tentang waktu kejadian Isra Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan
demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam 2 peristiwa
yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
“diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu
dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha
yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari
Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan
peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan
tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti
ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal
yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Perintah sholat dalam perjalanan isra dan mi’raj
Nabi Muhammad SAW, kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan
memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah,
Isra’ Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya
bagi kehidupan umat beragama (Islam). Bersandar pada alasan inilah, Imam
Al-Qusyairi yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli
‘Kitab al-Mikraj’ ini, berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar
kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, beserta
telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Quran dan
hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan
peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak
pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah sakral
Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini, termasuk
mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit? Apakah
Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami orang
lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita teladani?
Bagaimana dengan mikraj para Nabi yang lain dan
para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai muslim? Serta apa hikmahnya
bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku ini.
Dalam pengertiannya, Isra’ Mi’raj merupakan
perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul.
Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik
balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku ”In the
Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah
dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga
perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan
hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan
heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada
662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada
yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj
menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta
(al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan
kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan
meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap
pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen
penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan
Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul
mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan,
dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman,
“Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak
mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah inilah
kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku
‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang
dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat
yang di jalankan umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah
mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada
beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang
disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan
dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan ketiga,
shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan
merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat indah dalam
salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku setebal
178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan bingkai
yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw, tetapi juga memuat
mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian kelebihan lain
dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah Mikrajnya Abu Yazid
al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini merupakan rujukan bagi kondisi,
kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah.
Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju Allah,
kejujuran dan ketulusan niat menempuh perjalanan spiritual, serta keharusan
melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah. Maka, sampai pada satu
kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum
Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas
kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba
menuju kesempurnaan ruhani.
Leave a Reply