Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
Sekarang kita telah memasuki
hampir separuh bulan Rajab dimana pada akhir bulan ini (27 Rajab) kita sebagai
seorang muslim telah diingatkan kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah
umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah)
Rasulullah Muhammad SAW yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari
Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Yerusalem (Palestina), lalu
dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi’raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju
ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12
bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib
(Madinah).
Allah
SWT mengisahkan peristiwa agung ini didalam Al-Qur’an Surat Al Isra (dikenal
juga dengan Surat Bani Israil) ayat 1:
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya:
“Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra/17:1)
“Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra/17:1)
Lalu
apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi’raj ini?
Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh dan
sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari
perjalanan agung tersebut:
Pertama:
Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra’ wal Mi’raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat “sumpek”, seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan Abu Thalib bin Abdul Muthalib sang paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam
situasi seperti inilah, rupanya “rahmah” Allah meliputi segalanya, mengalahkan
dan menundukkan segala sesuatunya. “warahamatii wasi’at kulla syaei”, demikian
Allah deklarasikan dalam Kitab-Nya. Beliau di suatu malam yang merintih
kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba
diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk “berjalan-jalan” (saraa)
menelusuri napak tilas “perjuangan” para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan
dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di “Sidartul
Muntaha”. Sungguh sebuah “penyejuk” yang menyiram keganasan kobaran api
permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali
“menenangkan” jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk
melangkah menuju ke depan.
Artinya,
bahwa kita adalah “rasul-rasul” Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan
ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan
penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam
melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin,
Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah “perjalanan” yang
menyejukkan. “Allahu Waliyyulladziina aamanu” (Sungguh Allah itu adalah
Wali-nya mereka yang betul-betul beriman). Wali yang bertanggung jawab memenuhi
segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari
penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan
diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting
bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur,
konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di
jalanNya. “Wa laa taeasuu min rahmatillah” (jangan sekali-kali berputus asa
dari rahmat Allah)
Kedua:
Pensucian Hati
Disebutkan
bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya,
kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor?
Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit
“dendam”, dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…demi
Alloh…tidak. Beliau hamba yang “ma’shuum” (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa
signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah
adalah sosok “uswah”, pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak
saja “muballigh” (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus
menjadi “percontohan” bagi semua yang mengaku pengikutnya. “Laqad kaana lakum
fi Rasulillahi uswah hasanah”.
Memang
betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh,
kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan “suci” yang seharusnya dibangun
dalam suasa “kefitrahan”. Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam
perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat
menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai “nurani”, itulah lentera perjalanan
hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan “karat” kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian “penentu” baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في
الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan
bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada
noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap
kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam
pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan
bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati
tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh
api neraka. “Khatamallahu ‘alaa quluubihim”.
Di Al
Qur’an sendiri, Allah berfirman:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya:
“Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa
yang mengotorinya”.
Maka
sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju “ilahi” dengan senantiasa
membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga:
Memilih Susu – Menolak Khamar
Ketika
ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang
berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang
berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar,
minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar
yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini
adalah pilihan fitri “suci”.
Dengan
bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan
kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat,
sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya
suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima
selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi
akan merasakan “ketidak senangan” terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi,
pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang
dimilikinya.
Dalam
hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar.
Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju
tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan
pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada
pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan
oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini,
diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam
dalam diri setiap insan.
Keempat:
Imam Shalat Berjama’ah
Shalat
adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol
ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai
hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal
yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka
ketika Rasulullah memimpin shalat berjama’ah, dan tidak tanggung-tanggung
ma’mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu
pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa
yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya
banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma’mum Rasulullah SAW. Beliau menerima
dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki
kelebihan-kelebihan “leadership”, walau secara senioritas beliaulah seharusnya
menjadi Imam.
Kepemimpinan
dalam shalat berjama’ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala
skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara
kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: “Wahai orang-orang yang beriman,
ruku’lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara
bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan”. Dalam
situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah
pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria “imaamah” atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur’an masih menjadi “tanda tanya” besar pada kalangan umat ini. “Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami”.
Kita
umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang
menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik,
bukan dalam shalat berjama’ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam
kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera
berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya.
Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni’matnya berhadapan langsung dengan
Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni’mat menyaksikan
dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab
duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni’matan yang dirasakan malam itu,
harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan
yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun
ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan “dzikir”,
dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki
menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. “Wadzkurullaha
katsiira” (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada
kita di saat kita bertebaran mencari “fadhalNya” dipermukaan bumi ini. Persis
seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju
bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi’raj).
sumber:
|
||
Leave a Reply